Minggu, 01 Maret 2015

HUKUM MEMBACA BASMALAH DALAM SHALAT MENURUT EMPAT IMAM MADZHAB



Basmalah menurut Mazhab Hanafi (Imam Abu Hanifah)

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Basmalah bukan merupakan bagian dari Al Fatihah. Adapun membaca Basmalah pada Al Fatihah ketika shalat hukumnya sunnah dan dibaca secara sirr (samar).

ليست البسملة آية من الفاتحة ولا من غيرها من السور إلا من سورة النمل في أثنائها ، لحديث أنس رضي الله تعالى عنه قال: «صليت مع رسول الله صلّى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي ا لله عنهم، فلم أسمع أحداً منهم يقرأ بسم ا لله الرحمن الرحيم». لكن يقرأ المنفرد بسم الله الرحمن الرحيم مع الفاتحة في كل ركعة سراً، كما أنه يسر بالتأمين، فالتسمية والتأمين يسر بهما القارئ. أما الإمام فلا يقرأ البسملة ولا يسر بها لئلا يقع السر بين جهرين، قال ابن مسعود: «أربع يخفيهن الإمام: التعوذ، والتسمية، والتأمين، والتحميد»

"Basmalah bukanlah ayat dari Al Fatihah dan bukan pula ayat dari surat-surat yang lain kecuali di tengah-tengah surat An-Naml. Berdasarkan hadits dari Sayyidina Anas -radhiyAllahu ‘anhu-: “Saya shalat bersama Rasulullah -shallAllahu ‘alayh wa aalih wa sallam-, Abu Bakar, Umar, dan Utsman -radhiyAllahu ‘anhum-, maka aku tidak mendengar satu pun dari mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim” (HR Muslim dan Ahmad). Akan tetapi orang yang shalat munfarid (sendiri) membaca Bismillahirrahmanirrahim pada Al Fatihah di setiap rakaat secara samar, sebagaimana menyamarkan pula pada Ta’min (membaca ‘aaamiiin’), maka pembaca membaca Basmalah dan Ta’min secara samar. Adapun Imam maka tidak membaca Basmalah dan tidak menyamarkan bacaannya supaya tidak menyamarkan di antara dua jahr. Ibnu Mas’ud berkata: “Empat hal yang Imam meringankan bacaannya: ta’awudz, tasmiyah (Basmalah), ta’min, dan tahmid (bacaan: Robbana lakal hamdu)”  (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/22).

فكان أبو حنيفة وأصحابه يقولون بقراءتها فى الصلاة سرا، لا يرون الجهر بها لامام ولا لمنفرد، بعد الاستفادة وقبل فاتحة الكتاب تبركا بها فى الركعة الأولى كالتعوذ، باتفاق الروايات عن أبى حنيفة، وذلك مسنون فى المشهور عند أهل المذهب.

"Adapun Imam Abu Hanifah dan para ulama’ mazhabnya berkata tentang membaca Basmalah di dalam shalat secara samar. Mereka tidak meriwayatkan membaca Basmalah secara keras bagi Imam maupun bagi orang yang shalat sendirian. (Basmalah dibaca) setelah istifadah dan sebelum Al Fatihah untuk mencari berkah dengannya di dalam rakaat pertama seperti halnya ta’awudz menurut kesepakatan riwayat-riwayat dari Imam Abu Hanifah. Membaca Basmalah disunnahkan menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama’ mazhab Hanafi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami I/17).


Basmalah menurut Mazhab Maliki (Imam Malik bin Anas)

Menurut Mazhab Maliki, Basmalah bukan ayat dari Al Fatihah dan tidak disunnahkan membacanya di dalam shalat baik keras maupun samar. Adapun membacanya maka hukumnya makruh.

وليست البسملة عند المالكية آية من الفاتحة، فلا يقرؤها في الصلاة المكتوبة، جهراً كانت أو سراً، لا في الفاتحة، ولا في غيرها من السور.

"Dan menurut Mazhab Maliki, Basmalah bukan ayat dari Al Fatihah. Maka tidak dibaca pada shalat maktubah (shalat lima waktu) baik keras maupun samar, tidak pula dibaca pada Al Fatihah dan pada surat-surat lain". (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/30).

المالكية قالوا : يكره الإتيان بالتسمية في الصلاة المفروضة سواء كانت سرية أو جهرية الا إذا نوى المصلي الخروج من الخلاف فيكون الإتيان بها أول الفاتحة سرا مندوبا والجهر بها مكروه في هذه الحالة أما في صلاة النافلة فإنه يجوز للمصلي أن يأتي بالتسمية عند قراءة الفاتحة

"Ulama’ Mazhab Maliki berkata: Makruh hukumnya membaca Basmalah di dalam shalat fardhu baik dibaca secara keras maupun samar, kecuali jika si mushalli (orang yang shalat) berniat untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) ulama’, maka dia membaca Basmalah di awal surat Al Fatihah secara samar yang hukumnya sunnah, atau dibaca keras yang hukumnya makruh pada tingkah ini. Adapun pada shalat sunnah maka boleh bagi mushalli untuk membaca Basmalah ketika membaca Al Fatihah". (Fiqh ‘ala Madzahib Arba’ah I/301).


Basmalah menurut Mazhab Syafi’i (Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i)

Menurut Mazhab Syafi’i, Basmalah merupakan bagian dari ayat surat Al Fatihah sehingga wajib dibaca ketika shalat. Dan dibaca dengan keras ketika menjadi Imam shalat berjama’ah.

والبسملة عند الشافعية آية من الفاتحة، لما رواه البخاري في تاريخه أنه صلّى الله عليه وسلم عدّ الفاتحة سبع آيات، وعدّ: بسم ا لله الرحمن الرحيم آية منها. وروى الدارقطني عن أبي هريرة أنه صلّى الله عليه وسلم قال: «إذا قرأتم الحمد لله ، فاقرؤوا بسم ا لله الرحمن الرحيم، إنها أم القرآن، وأم الكتاب، والسبع المثاني، وبسم ا لله الرحمن الرحيم إحدى آياتها» (1) ، ولأن الصحابة رضي ا لله عنهم أثبتوها فيما جمعوا من القرآن، فيدل على أنها آية منها.

"Adapun menurut Mazhab Syafi’i, Basmalah merupakan ayat dari Al Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Tarikh-nya bahwa sesungguhnya Rasulullah -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- menghitung Al Fatihah sebanyak tujuh ayat dan menghitung ‘Bismillahirrahmanirrahim’ sebagai salah satu ayat daripadanya. Dan diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abi Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- bersabda: “Jika kalian membaca ‘Alhamdulillah’, maka bacalah ‘Bismillahirrahmanirrahim’. Sesungghnya itu adalah Ummul Quran, Ummul Kitab, dan Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang). Dan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ salah satu ayat daripadanya”. (1) Dan karena sesungguhnya para sahabat -radhiyAllahu ‘anhum- menetapkan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ ke dalam pengumpulan Al Quran, maka hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya ‘Bismillahirrahmanirrahim’ adalah ayat daripadanya.”

(1) وهناك أحاديث أخرى في موضوع البسملة، منها ما رواه البخاري ومسلم وابن خزيمة بإسناد صحيح عن أم سلمة. وهذا الحديث رواه الدارقطني وصوب وقفه (سبل السلام:173/1)

(1) Dan terdapat hadits lain yang membahas Basmalah. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih dari Ummi Salamah. Adapun hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni (Subulus Salam 1/173). (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/26).

أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن إسحاق الصنعاني أخبرنا خالد بن خداش نا عمرو بن هارون عن ابن جريج عن بن أبي مليكة عن أم سلمة : أن النبي صلى الله عليه و سلم قرأ في الصلاة بسم الله الرحمن الرحيم فعدها آية والحمد لله رب العالمين آيتين وإياك نستعين وجمع خمس أصابعه

"Menceritakan kepadaku Abu Thahir, menceritakan kepadaku Abu Bakar, menceritakan kepadaku Muhammad bin Ishaq As-Shan’ani, menceritakan kepadaku Khalid bin Khadasy, menceritakan kepadaku ‘Amr bin Harun, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abi Mulikah, dari Ummi Salamah: “Sesungguhnya Nabi -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ di dalam shalatnya, maka beliau menghitungnya sebagai satu ayat, dan ‘Alhamdulillahirabbil’alamin’ dua ayat, dan ‘Iyyakanasta’in’ beliau mengumpulkan lima jarinya.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits nomor 493, I/248).

أخبرنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أخبرنا أبي و شعيب – يعني ابن الليث – قالا أخبرنا الليث نا خالد ح وحدثنا محمد بن يحيى نا سعيد بن أبي مريم أخبرنا الليث حدثني خالد بن يزيد عن بن أبي هلال عن نعيم المجمر قال : صليت وراء أبي هريرة فقرأ بسم الله الرحمن الرحيم ثم قرأ بأم القرآن حتى بلغ ولا الضالين فقال : آمين وقال الناس : آمين ويقول كلما سجد : الله أكبر وإذا قام من الجلوس قال : الله أكبر ويقول إذا سلم : والذي نفسي بيده إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه و سلم جميعها لفظا واحدا

"Menceritakan kepadaku Abu Thahir, menceritakan kepadaku Abu Bakar, menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Hakam, menceritakan kepadaku ayahku dan Syu’aib -yaitu Ibnu Laits- mereka berdua berkata: menceritakan kepadaku Al-Laits, menceritakan kepadaku Khalid, menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya, menceritakan kepadaku Sa’id bin Abi Maryam, menceritakan kepadaku Al-Laits, menceritakan kepadaku Khalid bin Yazid, dari Abi Hilal, dari Nu’aim Al-Majmar berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah maka beliau membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ kemudian membaca Ummul Kitab sampai ‘wa laddhoolliin’, kemudian beliau berkata ‘aamiin’, dan jama’ah berkata ‘aamiin’. Beliau berkata ketika hendak sujud ‘Allahu Akbar’, dan ketika bangun dari duduk ‘Allahu Akbar’. Dan beliau berkata ketika usai salam: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di genggaman-Nya! Sesungguhnya aku telah mencontohkan kepada kalian shalat bersama Rasulullah -shallAllahu ‘alaih wa aalih wa sallam- secara keseluruhan’ dengan satu lafadz.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits nomor 499, I/251).


Basmalah menurut Mazhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal)

Menurut Mazhab Hambali, Basmalah merupakan ayat dari Al Fatihah. Adapun cara membacanya adalah dengan samar.

وقال الحنابلة: البسملة آية من الفاتحة يجب قراءتها في الصلاة، لكن يقرأ بها سراً، ولا يجهر بها.

Berkata ulama Mazhab Hambali: Basmalah merupakan ayat dari Al Fatihah dan wajib membacanya di dalam shalat, tapi dibaca secara samar, dan tidak dikeraskan atas bacaannya. (Fiqh Islami wa Adillatuhu II/30).

Jika kita melihat dari pendapat para Imam Mazhab di atas, kita dapat mengamati bahwa bagaimanapun juga, membaca Basmalah tidak membatalkan shalat. Paling banter hukumnya adalah makruh, sebagaimana pendapat Mazhab Maliki, namun tidak sampai membatalkan shalat. Namun di sisi lain, ada mazhab yang mewajibkan membaca Basmalah, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hambali, yang shalat tidak akan sah jika tidak membacanya.

Hal ini juga berlaku dalam shalat jama’ah. Jika Imam tidak membaca Basmalah, sedangkan di antara makmum-nya ada yang bermazhab Syafi’i atau Hambali, maka hal ini bisa membatalkan shalat si Makmum. Dengan terpaksa dan tanpa ada pilihan lain, si Makmum mau tidak mau harus mufaroqoh (berpisah dari jama’ah) agar shalatnya bisa sah, tentunya dengan terpaksa pula kehilangan pahala shalat berjama’ah. Jika shalatnya adalah shalat maktubah, mungkin tidak terlalu menjadi masalah karena si makmum bisa mufaroqoh untuk mengerjakan shalat sendiri. Tentunya akan sangat merepotkan jika Imam tidak membaca Basmalah ketika shalat Jumat, karena si Makmum akan kehilangan shalat Jum’at, dan terpaksa shalat Dzuhur sendirian.

Dengan menimbang kemaslahatan bersama (win-win solution), saya berpendapat dan mengusulkan bahwa si Imam seharusnya membaca Basmalah, walaupun itu secara samar, agar semua jama’ah bisa sah shalatnya dan sama-sama mendapat pahala shalat berjama’ah.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi perhatian para Imam agar bijak dalam menjadi Imam.

HUKUM BAGIAN TUBUH YANG TERPISAH BAGI ORANG JUNUB (HAID)



Pengantar
Entah darimana sumbernya, barangkali seorang wanita Muslimah pernah mendengar  sekali atau dua kali tentang aturan yang mengharuskan dikumpulkannya rambut rontok  saat wanita sedang haid. Aturan tersebut juga mengingatkan, sedapat mungkin jangan memotong kuku selama haid dan kalaupun terpaksa harus dikumpulkan kemudian dimandikan Janabah jika waktu berhenti haid sudah tiba. Termasuk pula dilarang mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dari badan dengan alasan yang sama. Bagaimanakah sebenarnya penjelasan masalah ini? Benarkah wanita wajib mengumpulkan rambutnya yang rontok saat haid?

Pembahasan
Tidak ada syariat mengumpulkan rambut yang rontok saat wanita dalam masa Haid.
Mengumpulkan rambut yang rontok, atau dicukur, atau dicabut termasuk mengumpulkan kuku yang dipotong atau yang semisal pada saat wanita sedang Haid adalah ketentuan yang tidak ada dasarnya baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya adalah najis sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut harus disucikan, adalah alasan yang tidak bisa diterima karena seorang mukmin itu suci, dan tidak Najis baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (1/ 474)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa dengan aku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya: “Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan pada beliau. Beliau lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.”(H.R.Bukhari)
Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya terkena Janabah sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut tetap dihukumi tubuh yang Junub yang harus disucikan juga tidak bisa diterima karena alasan ini adalah penetapan hukum Syara’ dengan Manthiq (logika), bukan Istinbath (penggalian hukum) Nash apa adanya. Hukum Syara’ tidak boleh ditetapkan dengan Manthiq, tetapi harus ditetapkan dengan Istinbath yang Syar’i.
Lagipula, Nash menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan seperti rambut dan daging tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan sendiri seperti memandikan badan yang Junub. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 139)
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ قَدْ أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ». يَقُولُ احْلِقْ. قَالَ وَأَخْبَرَنِى آخَرُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لآخَرَ مَعَهُ « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ ».

Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Buanglah rambut kafirmu”. Maksudnya beliau bersabda: “Cukurlah”. Dan perawi lain telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang lain yang bersamanya: “Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah (H.R.Abu Dawud)“.

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang baru masuk Islam diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mencukur rambutnya dan berkhitan. Mencukur rambut bermakna memisahkan sebagian rambut dari tubuh. Berkhitan bermakna memisahkan sebagian daging dari tubuh. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang yang baru masuk islam untuk mencukur rambut dan berkhitan sebelum mandi besar menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan tidak dihukumi Junub sehingga harus dimandikan dulu sebelum terpisah dari tubuh. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan oleh orang yang terkena Janabah tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan tersendiri.
Yang lebih menguatkan lagi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan Aisyah untuk bersisir padahal dalam kondisi Haid. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (2/ 24)
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ
أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ

Dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah berkata, “Aku bertalbiyah (memulai haji) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji Wada’. Dan aku adalah di antara orang yang melaksanakannya dengan cara Tamattu’ namun tidak membawa hewan sembelihan.” Aisyah menyadari bahwa dirinya mengalami Haid dan belum bersuci hingga tiba malam ‘Arafah. Maka ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, malam ini adalah malam ‘Arafah sedangkan aku melaksanakan Tamattu’ dengan Umrah lebih dahulu?” Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Urai dan sisirlah rambut kepalamu, lalu tahanlah Umrahmu.” Aku lalu laksanakan hal itu. Setelah aku menyelesaikan haji, beliau memerintahkan ‘Abdurrahman pada malam Hashbah (Malam di Muzdalifah) untuk melakukan Umrah buatku dari Tan’im, tempat dimana aku mulai melakukan Manasikku.”(H.R.Bukhari)
Wanita yang bersisir secara alami akan membuat sebagian rambutnya rontok. Seandainya mengumpulkan rambut saat Haid dengan maksud disucikan tersendiri disyariatkan, niscaya nabi akan mengajarkan hal tersebut kepada aisyah. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyinggung sama sekali masalah pengumpulan rambut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada syariat pengumpulan rambut, atau kuku, atau daging yang terpisah dari badan saat orang dalam keadaan Junub seperti sedang hadis atau setelah berhubungan suami istri.
Adapun larangan memotong rambut atau kuku dengan alasan bahwa orang yang Junub jika memotong rambutnya atau kukunya, maka di akhirat seluruh bagian tubuhnya akan kembali kepadanya, dan pada hari Kiamat dia akan berdiri dalam keadaan tubuhnya mengandung Janabah dengan kadar sesuai dengan bagian tubuh yang dihilangkan dalam kondisi Junub ketika di dunia, dan setiap rambut akan mengandung Janabah sesuai dengan kadar rambut yang dihilangkan dalam keadaan Junub di dunia yang mana rambut berjanabah tersebut akan menuntut pemiliknya,misalnya seperti rekomendasi Al-Ghazzali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin;
إحياء علوم الدين (2/ 51)
ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

“Tidak seyogyanya mencukur rambut,memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dalam keadaan Junub, karena seluruh anggota tubuh akan dikembalikan di akhirat, sehingga kembalinya dalam keadaan junub. Konon, setiap satu rambut kan menuntut hamba karena Janabahnya itu” (Ihya Ulumuddin, vol.2 hlm 51)
Maka keyakinan  ini adalah keyakinan yang tidak bisa dipegang. Kepercayaan ini tidak didasarkan pada riwayat yang shahih dan tidak dinyatakan dalam Al-Quran dan Assunnah baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Al-Ghazzali sendiri mengutip statemen tersebut tanpa menjelaskan asal-usul riwayat berikut sanadnya.   
 
Tapi sebagai seorang muslim yang baik kita harus menyingkapi perbedaan pendapat diantara para ulama karena menurut sabda Rasulullah saw perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat. Wal hasil kita harus menjaga bagian tubuh kita yang terpisah saat kita junub kecuali diluar kekuasaan kita (tidak sengaja). 
Wallahua’lam.

Minggu, 15 Februari 2015

NASIHAT BAGI HAMBA ALLAH



DUA KIAT UNTUK MENYEMPURNAKAN AKAL
Ada yang mengatakan:

اِكْمَالُ اْلعَقْلِ اِتِّبَاعُ رِضْوَانِ اللهِ تَعَالَى وَاجْتِنَابُ سُخْطِهِ

“Kesempurnaan akal itu mengikuti keridaan Allah swt. dan menjauhi murka-Nya”.
Karena itu mengembangkan akal dengan cara yang bertolak belakang dengan hal itu menuju kegilaan

NASIHAT BAGI HAMBA ALLAH



SYAHWAT DAN SABAR
Ada yang mengatakan:

اِنًّ الشَّهْوَةُ تُصَيِّرُ اْلمُلُوْكَ عَبِيْدًا ، وَالصَّبْرُ يُصَيِّرُ الْعَبِيْدَ مُلُوْكًا ، اَلاَتَرَى ِالَى يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا

“Sesungguhnya syahwat itu dapat mengubah raja menjadi hamba dan kesabaran dapat mengubah hamba menjadi raja, bukankah anda melihat kisah Yusuf dan Zulaikha?”

Syahwat adalah keinginan dan kesenangan, padahal orang yang senang terhadap sesuatu maka di saat itulah telah menjadi hamba sesuatu yang disenangi itu. Kesabaran adalah ketabahan, di mana dengan ketabahan inilah orang dapat menggapai yang dimaksud.
Dalam kisahnya: Zulaikha yang permaisuri raja amat mencintai Yusuf, namun dengan penuh kesabaran si Yusuf mampu menghadapi segala bujuk rayu dan tipu daya Zulaikha. Akhirnya Yusuf si budak itu menjadi raja.  

NASIHAT BAGI HAMBA ALLAH



ORANG MULIA DAN ORANG BODOH

Ada yang mengatakan:

لَاغُرْبَةَ لِلْفَا ضِلْ وَلَاوَطَنَ لِلْجَاهِلْ

“Tiada pengasingan bagi orang mulia (berilmu) dan tiada tanah air bagi orang yang bodoh”.
Orang yang mulia adalah orang yang berilmu serta beramal, dia selalu dimuliakan dan dihormati orang lain di mana saja berada sebab selalu dihormati dan diperlukan kehadirannya. Karena itu, walaupun di negeri asing, ia tetap hidup seperti di rumah sendiri. Sebaliknya adalah nasib orang bodoh.